Rabu, 31 Desember 2008

(2) Kebudayaan suku bangsa Batak

a. Sistem Kepercayaan/Religi
Di daerah Batak terdapat beberapa agama, antara lain: agama Islam, agama Katolik, dan agama Kristen Protestan. Meskipun demikian, konsep-konsep kepercayaan atau religi purba masih hidup terutama di pedesaan.
Sumber utama untuk mengetahui sistem keperca-yaan dan religi purba ini adalah buku pustaka yang terbuat dari kayu dan ditulis dengan huruf Batak. Buku tersebut memuat konsep-konsep tentang pencipta, jiwa, roh, dan dunia akhirat. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
1. Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
2. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung.
Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.
b. Sistem Kekerabatan
Perkawinan pada masyara-kat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki (paranak dalam bahasa Toba, si pempokan dalam bahasa Karo) dengan kaum kerabat si perempuan (parboru dalam bahasa Toba, sinereh dalam bahasa Karo). Menurut adat lama pada masyarakat Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh.
Perkawinan antara orang-orang rimpal (marpariban dalam bahasa Toba) yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (cross cousin) dianggap perkawinan ideal.
Sistem kekerabatan masyarakat Batak adalah patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang. Dalam masyarakat Batak hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Adapun kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak) yang disebut jabu, dan ripe dipakai untuk keluarga luas yang virilokal (tinggal di rumah keluarga pihak laki-laki).
Dalam masyarakat Batak, banyak pasangan yang sudah kawin tetap tinggal bersama orang tuanya. Adapun perhitungan hubungan berdasarkan satu kakek atau satu nenek moyang disebut sada nini (pada masyarakat Karo) dan saompu (pada masyarakat Toba).
Keluarga sada nini atau saompu merupakan klen kecil. Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah merga (dalam bahasa Karo) atau marga (dalam bahasa Toba).
c. Sistem Politik
Sistem politik yang dimaksud adalah sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Pada masyarakat Batak sistem kepemimpinan ini terbagi atas tiga bidang sebagai berikut:
1) Kepemimpinan di Bidang Adat
Kepemimpinan di bidang adat meliputi: perkawinan dan perceraian, kematian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran, dan sebagainya.
Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba) dan Sangkep Sitelu (Karo).
Dalam pelaksanaan musya-warah adat, sidang (ninggem) dipimpin oleh Suhut. Suhut ialah orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalikan Na Tolu.
Keputusannya merupakan hasil musyawarah dengan kerabat-kerabat tersebut.
2) Kepemimpinan di Bidang Agama
Dalam masyarakat Batak, kepemimpinan dalam bidang agama berhubungan dengan perdukunan dan roh nenek moyang serta kekuatan-kekuatan gaib. Pemimpin keagamaan dipegang oleh guru sibaso.
3) Kepemimpinan di Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, kepemimpinan dipegang oleh salah satu keturunan dari merga taneh. Oleh sebab itu, faktor tradisi masih melekat dalam memilih pemimpin pemerintahan. Adapun tugas pemimpin pemerintahan, yaitu menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Pada saat ini, masyarakat Batak selalu mencari orang yang dianggap mampu dan memahami segala persoalan yang terdapat dalam masyarakat.
d. Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan masyarakat Batak adalah bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang seperti suku bangsa Karo, Simalungun, dan Pakpak.
Masyarakat Batak mengenal sistem gotong-royong dalam bertani, dalam bahasa Karo disebut raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut marsiurupan. Gotong royong dilakukan dengan mengerjakan tanah secara bersama-sama oleh tetangga atau kerabat dekat. Alat yang digunakan untuk bercocok tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo, luku dalam bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam bahasa Karo). Bajak biasanya ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam bahasa Toba) dipakai untuk memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani.
Peternakan yang diusahakan oleh masyarakat Batak, seperti kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Babi biasanya untuk dimakan dan juga digunakan dalam upacara adat. Di Pulau Samosir tepi Danau Toba, menangkap ikan dilakukan intensif dengan perahu lesung (Solu) dan hasilnya dijual ke kota.
e. Sistem Kesenian
1) Seni Bangunan
Rumah adat Batak disebut ruma/jabu (bahasa Toba) merupakan kombinasi seni pahat ular serta kerajinan. Ruma akronim Ririt di Uhum Adat yang artinya sumber hukum adat dan sumber pendidikan masyarakat Batak.
Rumah berbentuk panggung yang terdiri atas tiang rumah yang berupa kayu bulat, tiang yang paling besar disebut tiang persuhi. Tiang-tiang tersebut berdiri di tiap sudut di atas batu sebagai pondasi yang disebut batu persuhi.
Bagian badan terbuat dari papan tebal, sebagai dinding muka belang, kanan dan kiri, dinding muka belakang penuh ukiran menjulang ke atas dan dipasang tanduk kerbau sebagai lambang pengharapan.
2) Seni Tari
Tari yang terkenal dari Batak, yaitu tor-tor. Tari tor-tor terdiri atas beberapa jenis. Beberapa jenis tari tor-tor sebagai berikut:
a) Pangurdot, anggota badan yang bergerak hanya kaki, tumit, hingga bahu.
b) Pangeal, anggota badan yang bergerak hanya pinggang, tulang punggung, dan bahu.
c) Pandenggal, anggota badan yang bergerak hanya lengan, telapak tangan hingga jari tengah.
d) Siangkupna, anggota badan yang bergerak hanya leher.
e) Hapunana, anggota badan yang bergerak hanya wajah.
3) Seni Musik
Seni musik suku bangsa Batak adalah ogung sabangunan. Peralatan yang digunakan adalah empat gendang dan lima taganing (sejenis gamelan Batak). Nama-nama gendang ogung, yaitu oloan, ihutan, doal, dan jeret.
Macam-macam tari tor-tor yang diiringi ogung sabangunan sebagai berikut:
a) Tor-tor/gondang mula-mula, dilakukan dengan menyembah berputar ke arah mata angin.
b) Tor-tor/gondang mangido pasu-pasu, dilakukan dengan tangan menari artinya petuah, nasihat, dan amanat orang tua.
c) Tor-tor/gondang liat-liat, dilakukan dengan menari berkeliling artinya keluarga mendapat kebahagiaan.
d) Tor-tor/gondang hasahatan, dilakukan dengan menari di tempat artinya petuah/rahmat Tuhan YME.
4) Seni Kerajinan
Kerajinan suku bangsa Batak yang terkenal adalah kain ulos. Peranan ulos bagi masyarakat Batak sejak lahir hingga meninggal sangat tinggi. Macam-macam ulos dan fungsinya dalam suatu acara, meliputi:
a) ulos lobu-lobu adalah ulos yang diberikan ayah kepada putra dan menantu saat pernikahan;
b) ulos hela adalah ulos yang diberikan orang tua pengantin perempuan;
c) ulos tondi adalah ulos yang diberikan orang tua kepada putrinya saat hamil tua;
d) ulos tujung adalah ulos yang diberikan kepada janda atau duda.
e) ulos saput adalah ulos penutup jenazah yang diberikan paman almarhum jika yang meninggal laki-laki;


Jumat, 26 Desember 2008

(1) Keragaman Budaya di Indonesia

A. Aneka Macam Kebudayaan
Sebagai makhluk yang dikaruniai akal, cipta dan rasa, manusia mampu berpikir, berlogika dan berkarya. Oleh karena kelebihan itu, banyak hasil karya diciptakan manusia mulai dari kesenian, rumah, bahasa, benda, dan lain-lain. Kesemua itu menghasilkan kebudayaan. Pada dasarnya setiap daerah mempunyai kebudayaan masing-masing di mana setiap kebudayaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Situasi ini menjadikan kebudayaan digolongkan menjadi tiga bentuk yaitu kebudayaan lokal, kebudayaan nasional, dan kebudayaan asing.
1. Kebudayaan Lokal
Budaya lokal adalah nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah dengan didukung oleh anggota masyarakat yang lebih luas yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
Indonesia terdiri atas 33 provinsi, karena itu memiliki banyak kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut dalam bentuk Adat pernikahan secara tradisional, Tarian tradisional, Bahasa daerah, Mitos, pakaian tradisional, folklor, musik tradisional, olahraga tradisional, permainan anak tradisional, kerajinan tangan, dan lain-lain.
Menurut James Danandjaja (dalam Sulastrin Sutrisno, 1985:460), folklor adalah sebagian kebudayaan Indonesia yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun secara tradisional. Tradisi ini bisa berbeda-beda versinya baik dalam bentuk lisan, perbuatan, maupun alat-alat pembantu pengingat. Kebudayaan Indonesia yang berbentuk folklor memiliki ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut: bersifat lisan, bersifat tradisional, versinya berbeda-beda, cenderung mempunyai bentuk berumus atau berpola, tidak diketahui siapa penciptanya, mempunyai fungsi dalam kehidupan kolektif yang memilikinya, berifat pralogis, menjadi hak milik bersama, dan bersifat polos atau spontan.
Contoh-contoh Budaya Lokal
Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal, yaitu :
a. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana, dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak dibiasakan, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie.
Contoh budaya lokal berdasarkan sistem berkebun yang sangat sederhana ini terdapat pada kebudayaan Mentawai dan penduduk Pantai Utara Papua.
b. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok.
Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan yang merasa bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu, mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintahan kolonial beserta zending dan missie, atau oleh pemerintah Republik Indonesia yang merdeka, gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah, Minahasa, Flores dan Ambon.
c. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh system pemerintahan kolonial. Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini. Contoh budaya lokal berdasarkan tipe masyarakat bercocok tanam dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali.
d. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsi-provinsi di Indonesia.
e. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sector perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh budaya lokal dengan tipe masyarakat metropolitan terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.
Contoh Kebudayaan suku bangsa di Indonesia
Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa adalah merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Suku bangsa adalah suatu kelompok yang berada dalam suatu kelompok sosial yang lebih besar.
Sangat sukar untuk menentukan secara pasti jumlah suku bangsa Indonesia. Kesulitan itu bersumber dari tolak ukur yang digunakan dalam menentukan suku bangsa. Banyak tolak ukur yang dapat digunakan dan penggunaan masing-masing tolak ukur akan menghasilkan jumlah suku bangsa Indonesia yang berbeda-beda. Zulyani Hidayah dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia (1999) mengidentifikasi setidaknya ada 656 suku bangsa Indonesia. Sedangkan menurut MA Jaspen yang dikutip oleh Suriakusumah, dkk (1999:7.19) dengan menggunakan tolak ukur bahasa daerah, kebudayaan serta susunan masyarakat menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 364 suku bangsa, dengan perincian sebagai berikut:
1. Sumatra : 47 suku bangsa
2. Jawa : 7 suku bangsa
3. Kalimantan : 73 suku bangsa
4. Sulawesi : 116 suku bangsa
5. Nusa Tenggara : 31 suku bangsa
6. Maluku Ambon : 41 suku bangsa
7. Irian Jaya (Papua) : 49 suku bangsa

Materi 1: Antropologi dan Kebudayaan

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
A. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti “manusia” atau “orang”, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Selanjutnya para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:
1. William A. Haviland, antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
2. David Hunter, antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3. Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Objek dan Tujuan Antropologi
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Konsentrasi Antropologi
Konsentrasi Antropologi menurut Koentjaraningrat:
1. Sejarah terjadinya dan perkembangan manusia sebagai mahluk sosial;
2. Sejarah terjadinya aneka warna perbedaan ciri-ciri fisik manusia;
3. Penyebaran danperbedaan bahasa manusia;
4. Perkembangan dan penyebaran kebudayaan manusia;
5. Dasar-dasar perbedaan budaya manusia.
Macam-Macam Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi
1. Antropologi Fisik
Antropologi Fisik adalah sebuah istilah lama dalam Antropologi. Cabang Antropologi ini mengkaji hubungan antara kebudayaan dan manusia secara biologis. Pada masa kini Antropologi Fisik lebih sering disebut sebagai Antropologi Biologi.
Di masa lalu, kajian Antropologi Fisik lebih ditekankan pada usaha untuk mem¬bandingkan manusia dengan primata lain, seperti simpanse, gorila, dan orangutan. Antropologi Fisik juga mencari hubungan antara manusia modern (Homo Sapiens) dengan nenek moyang kita seperti Homo Erectus. Antropologi fisik dalam arti khusus adalah bagian dari ilmu Antropologi yang mencoba mencapai suatu pengertian tentang seja¬rah terjadinya aneka warna mahluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya dengan memakai sebagai obyek penelitiannya ciri-ciri tubuh, baik yang lahir (fenotipik) seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, index tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh dsb., maupun yang dalam (genotipik), seperti frekuensi golongan darah dsb. Manusia di muka bumi ini dapat digolongkan ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan atas persamaan mengenai beberapa ciri-ciri tubuh yang ada pada sebagian besar dari individu-individunya, sungguhpun tiap-tiap individu sendiri-sendiri mempunyai ciri-ciri tubuh yang berbeda-beda. Kelompok manusia seperti itu dalam antropologi disebut “ras”. Pengertian terhadap aneka warna dari ras-ras di dunia itu dicapai oleh para sarjana, terutama dengan mencoba menjalankan berbagai metode klasifikasi terhadap aneka warna itu. Bagian ini dari ilmu antropologi sering disebut antropologi fisik dalam arti khusus, atau somatologi.
Sementara kajian-kajian Antropologi Biologi modern sangat dipengaruhi oleh perkembangan ilmu genetika (cabang ilmu biologi yang menjelaskan kode-kode pembentuk fisik manusia secara turun-temurun), demografi (ilmu kependudukan), ilmu forensik (ilmu bedah mayat untuk penen¬tuan identitas seseorang), dan paleomedis (ilmu kedokteran masa lampau) secara lebih luas.
Antropologi Fisik meliputi :
a. Paleo-antropologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil. Paleo-antropologi meneliti soal asal usul atau soal terjadinya dan perkembangan mahluk manusia dengan mempergunakan sebagai obyek-obyek penelitian sisa-sisa tubuh yang telah membatu atau fosil-fosil manusia dari zaman dahulu yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi dan yang harus didapat oleh si peneliti dengan berbagai metode penggalian.
b. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
2. Antropologi Budaya
Antropologi Budaya adalah cabang ilmu terbesar dalam Antropologi. Beberapa antropolog juga sering menyebut kajian ini sebagai bidang kajian Antropologi Sosial Budaya. Mengapa demikian? Karena ketika kita membahas keseluruhan kondisi suatu masyarakat tertentu, kita sering kali sulit memisahkan antara kondisi sosial dan kondisi budayanya. Bidang kajian Antropologi Budaya meliputi keanekaragaman kebudayaan, upaya mencari unsur-unsur kebudayaan yang universal, mengungkapkan hubungan antara struktur sosial masyarakat dengan kebudayaannya, bahkan juga membahas mengenai interpretasi simbolik.
Antropologi Budaya meliputi :
a. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
b. Etnolinguistik antropologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
c. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
e. Entropologi spesialisasi, meliputi: Antropologi ekonomi, Antropologi politik, Antropologi kependudukan, Antropologi Kesehatan, Antropologi Kesehatan Jiwa, Antropologi Pendidikan, dan Antropologi Perkotaan.
f. Antropologi Terapan
3. Antropologi Linguistik
Antropologi Linguistik adalah kajian tentang keanekaragaman bahasa. Namun, ruang linkupnya jauh lebih kecil dari ilmu linguistik. Antropologi Linguistik melihat bahasa dalam konteks latar belakang kebudayaan masyarakat penuturnya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu tentang bahasa ini agak lebih tua dibandingkan dengan antropologi. Kedua disiplin tersebut menjadi amat erat hubungannya, karena ketika para ahli antropologi melakukan penelitian lapangan, mereka meminta bantuan tenaga-tenaga ahli bahasa untuk mempelajari bahasa-bahasa primitif. Terdapat perbedaan antara ahli linguistik dengan dengan ahli-ahli bahasa yang lain. Ahli linguistik lebih tertarik pada sejarah dan struktur bahasa-bahasa yang tidak tertulis. Pusat perhatian demikian memerlukan teknik analisa dan penelitian yang lebih luas jenisnya dibandingan dengan yang digunakan oleh para ahli bahasa yang lain. Lebih jauh ahli linguistik juga tertarik untuk mempelajari timbulnya bahasa selama masa yang lalu dan juga pada variasi bahasa pada masa kini, sehingga dapat dikatakan bahwa ahli antropologi linguistik mempelajari timbulnya bahasa dan bagaimana terjadinya variasi dalam bahasa-bahasa selama dalam jangka waktu berabad-abad. Ketika antropologi linguistik tertarik mengenai bagaimana terjadinya perbedaan bahasa-bahasa sekarang, khususnya sehubungan dengan konstruksi dan cara penggunaannya, maka kemudian berkembang cabang ilmu bahasa deskriptif. Secara terinci, ilmu mengenai konstruksi bahasa disebut ilmu bahasa struktural, dan ilmu yang mempelajari bagaimana bahasa dipergunakan dalam logat sehari-hari disebut sosiolinguistik atau etnolinguistik.
B. Antropologi Sebagai Ilmu Budaya
Sejarah perkembangan antropologi di negara-negara Barat sudah bisa dilacak sejak 300 tahun sebelum Masehi. Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu anthropos ‘manusia’, dan logos ‘ilmu pengetahuan’. Jadi, antropologi ‘ilmu pengetahuan’ (sains/science) yang mempelajari, membahas, atau mengkaji manusia.
Semua ilmu sosial budaya mengkaji kehidupan manusia. Setiap cabang ilmu sosial budaya (sosiologi, psikologi, hukum, sastra, sejarah, politik, komunikasi, ekonomi, arkeologi, dan linguistik) memiliki fokus kajian sendiri-sendiri. Antropologi memiliki fokus kajian pada kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Ilmu antropologi merupakan ilmu pengetahuan modern yang dapat digunakan untuk mengkaji dan memahami berbagai suku bangsa (etnis) yang ada di Indonesia dan suku bangsa di berbagai penjuru dunia. Misalnya, di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, antropologi dimanfaatkan oleh antropolog Belanda bernama Snouk Hurgronje untuk memahami kebutuhan dan kelemahan masyarakat Aceh. Tujuannya adalah agar Aceh bisa dikalahkan dan dijajah oleh Belanda. Ilmu antropologi sering kali dikatakan tergantung pada kalangan ilmuwan antropologi Barat (Amerika dan Eropa), maka untuk menjelaskan keadaan dimasa sekaraNg masih merujuk pada pemikiran asing. Antropologi sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu sosial budaya lainnya, adalah produk masyarakat. Dilihat dari sudut pandang ini, maka secara historis masyarakat yang melahirkan antropologi adalah masyarakat Barat.
Ilmu antropologi di negara-negara Barat (western), seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis telah memiliki tingkat kemajuan yang tinggi. Hal ini tidaklah mengherankan. Mengapa ? Karena ilmu antropologi memang lahir dan berkembang dengan baik di negara-negara Barat. Di negara-negara Barat, ilmu antropologi tidak hanya digunakan untuk mengkaji dan memahami kebudayaan bangsa mereka sendiri, tetapi juga digunakan untuk mengkaji dan memahami kebudayaan bangsa-bangsa lain di berbagai penjuru dunia.
C. Pengertian Kebudayaan
Seperti sudah dikemukakan di atas, fokus kajian antropologi adalah kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Sementara itu, kebudayaan sendiri sudah banyak dibicarakan dan dikaji oleh para pakar budaya. Hal tersebut menyebabkan penjelasan atau makna mengenai budaya menjadi beragam.
Hari Poerwanto mengatakan bahwa dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut dengan culture. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu colere yang berarti ‘pemeliharaan’ atau ‘pengolahan tanah menjadi tanah pertanian’. Selanjutnya, kata itu diberi arti pembentukan dan pemurnian jiwa. Dalam bahasa Indonesia, kata culture sama dengan kata budaya. Kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu kata buddhayah. Kata buddhayah berasal dari kata budhi yang berarti ‘akal’. Manusia memiliki unsur-unsur potensi budaya, yaitu pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Hasil ketiga potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan.
Kebudayaan memiliki definisi yang beragam. Banyak ahli yang mencoba membuat definisi kebudayaan tersebut. Penekanannya terletak pada manusia menjalani kehidupan dengan berbagai cara dan tercermin di dalam kehidupan mereka melalui pola tindakan (action) dan kelakuan (behavior).
a. Koentjaraningrat mengatakan bahwa beberapa pakar antropologi terkenal seperti C.C. Wissler (1916), C. Kluckhohn (1941), A. Davis, atau A. Hoebel menjelaskan bahwa tindakan kebudayaan adalah suatu learned behavior, yakni suatu hasil budidaya berupa kebiasaan yang didapat melalui proses belajar. Jadi, manusia di dalam kehidupannya selalu melakukan tindakan belajar untuk menjalani kehidupannya. Kebiasaan belajar tersebut dilakukan terus secara berkelanjutan hingga manusia mampu menjalani kehidupannya dengan segala proses pembelajaran tersebut.
b. Koentjaraningrat berikutnya menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Lebih lanjut beliau merinci bahwa kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah. Buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi. Buddhi memiliki arti budi atau akal. Di dalam antropologi–budaya, budaya dan kebudayaan memiliki makna yang sama. Budaya hanyalah suatu bentuk singkat dari kata kebudayaan. Namun demikian, menurut sosiologi ada perbedaan antara budaya dan kebudayaan. “Budaya” adalah suatu daya dari budi berupa cipta, karsa, dan rasa. Adapun kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.
c. E.B. Tylor (1881) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa melihat suatu kebudayaan adalah melihat perubahan budaya berdasarkan atas teori evolusi. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
d. C. Kluckhohn (1952) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.
e. Linton (1936) dan A.L. Kroeber (1948) melalui Hari Poerwanto mengatakan bahwa melihat kebudayaan melalui pemikiran historical particularism, budaya, dan personalitas. Linton berpendapat bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan dari pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dalam bukunya The Study of Man (1936), Linton mengatakan bahwa di dalam kehidupan ada dua hal penting, yakni:
1) Inti Kebudayaan (Cover Culture)
Inti kebudayaan terdiri atas:
a) Sistem nilai-nilai budaya.
b) Keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat.
c) Adat yang dipelajari sejak dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat.
d) Adat yang memiliki fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
2) Perwujudan Lahir Kebudayaan (Overt Culture)
Perwujudan lahir kebudayaan adalah bentuk fisik suatu kebudayaan, misalnya alat-alat dan benda-benda yang berguna.
Covert Culture adalah bagian kebudayaan yang sulit diganti dengan kebudayaan asing atau lambat mengalami perubahaan.
f. Malinowski (1945) melalui Hari Poerwanto dikatakan bahwa melihat kebudayaan dengan sudut pandang structural functionalism. Pada structuralism functionalism, Malinowski berupaya melihat fungsi kebudayaan berikut fungsi unsur-unsur kebudayaan. Kesenian berfungsi memberi penghiburan dan pelepas ketegangan, keluarga berfungsi sebagai pemberi rasa aman dan mesra, juga pelanjut keturunan. Setiap unsur kebudayaan memiliki fungsi yang saling terkait.
g. Levi Strauss (1972) melihat kebudayaan dengan sudut pandang structuralism. Structuralism adalah sudut pandang melihat kebudayaan dengan memeriksa struktur-struktur yang ada di dalam kebudayaan berikut perulangan-perulangan yang muncul di dalam kebudayaan. Dari kategorisasi dan perulangan, lalu dapat dilihat struktur dalam suatu kebudayaan berupa pemikiran di bawah sadar suatu suku bangsa.
h. Lucman (1979) melalui Hari Poerwanto dikatakan bahwa melihat kebudayaan dengan sudut pandang ethnometodology. Kebudayaan dilihat melalui kacamata ilmu suku bangsa.
i. Kroeber mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan serta perilaku yang ditimbulkannya.
j. Herskovits mengemukakan bahwa kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
k. Haviland mengartikan kebudayaan sebagai seperangkat peraturan dan standar yang menghasilkan perilaku yang layak dan dapat diterima oleh para anggotanya.
l. Parsudi Suparlan melihat kebudayaan sebagai pengetahuan yang bersifat operasional, yaitu sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Isinya adalah perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi. Berguna juga untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.
m. Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan tidak didefinisikan sebagai pola ‘dari’, tetapi sebagai pola ‘bagi’ kelakuan. Hal itu terdiri dari serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya.
D. Wujud Kebudayaan
Kebudayaan tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil kebudayaan itu dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan pancaindera manusia. Wujud kebudayaan dapat dilihat sebagai berikut.
1. Wujud kebudayaan merupakan kesatuan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.
2. Wujud kebudayaan merupakan kesatuan aktivitas serta tindakan berpola yang dilakukan manusia dalam suatu masyarakat tertentu.
3. Wujud kebudayaan dapat dilihat melalui benda-benda hasil karya manusia.
Pertama, wujud kebudayaan yang disebut sebagai gagasan untuk melakukan “sesuatu” atau membuat “sesuatu” yang ada dalam pikiran manusia. “Sesuatu” itu dapat berupa tata cara perkawinan, gerak tari, aturan bahasa, adat istiadat, lembaga pertanian, dan lain-lain. Jadi, kebudayaan dalam arti yang sesungguhnya adalah kebudayaan yang berada pada tingkatan gagasan karena ia bersifat abstrak (terletak dalam pikiran manusia). Kemudian, kebudayaan dalam wujud gagasan itu akan menimbulkan “kebudayaan perilaku” dan “benda-benda kebudayaan”.
Kedua, kebudayaan perilaku (activities) merupakan perilaku manusia atau masyarakat sebagai hasil dari kebudayaan. Hasil dari kebudayaan ini adalah perilaku budaya. Perilaku kebudayaan tersebut dapat dilihat dalam tradisi selamatan untuk bayi yang baru lahir. Contoh lain dari perilaku budaya adalah tari-tarian, karnaval atau pawai budaya, kampanye partai politik, komunikasi dengan bahasa lisan, pertunjukan seni, adat perkawinan, serta halal bi halal setelah bulan Ramadan. Perilaku budaya tersebut muncul karena didahului oleh adanya ide atau gagasan di dalam pikiran manusia. Kemudian, diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Perilaku budaya atau kebudayaan yang berada dalam tingkat perilaku bersifat konkret. Maksudnya, perilaku budaya tersebut dapat dideteksi atau dipantau oleh pancaindra manusia.
Ketiga, wujud kebudayaan dalam bentuk benda-benda hasil karya manusia (artifacts). Dalam konsep ini, benda-benda budaya diartikan sebagai hasil dari kebudayaan. Contoh benda-benda budaya adalah tugu peringatan, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Masjid Demak, Masjid Mataram, Masjid Istiqlal, Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, Keraton Cirebon, patung-patung, rumah joglo di Jawa, rumah gadang di Sumatra Barat, rumah bala lompoa di Sulawesi Selatan, rumah betang dan rumah lamin di Kalimantan, serta rumah honai dan rumah bivak di Papua. Seperti perilaku budaya, benda-benda budaya tersebut bukanlah kebudayaan dalam anti sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari kebudayaan. Benda-benda budaya itu muncul karena didahului oleh ide atau agasan dalam pikiran manusia untuk membuat sesuatu. Lalu, ide itu dijadikan dasar membuat benda-benda budaya tersebut. Oleh karena itu benda-benda budaya dalam tingkat ini memiliki sifat konkret.
Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan idea mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Sementara, pikiran dan ide, maupun perbuatan dan karya manusia menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisiknya.
Berdasarkan letak geografis, kebudayaan dapat dibagi menjadi dua:
1 . Kebudayaan Pusat
Kebudayaan pusat adalah suatu kebudayaan yang menjadi rujukan dan kiblat bagi mayoritas etnis. Kebudayaan pusat memiliki pengaruh kuat terhadap kebudayaan masyarakat Biasanya, kebudayaan pusat berada dan menjadi satu dengan pusat kekuasaan. Pada zaman dahulu, kekuasaan di Indonesia berbentuk kerajaan sehingga kebudayaan pusat terletak di pusat kerajaan. Misalnya, pusat kebudayaan Jawa terdapat di Keraton Jawa Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta). Pusat kebudayaan Cirebon ada di Keraton Cirebon (Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan). Jadi, kebudayaan pusat yang dimiliki oleh masyarakat Jawa terletak di Keraton Jawa, sedangkan kebudayaan pusat yang dimiliki oleh masyarakat Cirebon berada di Keraton Cirebon. Keraton adalah istana tempat tinggal raja atau ratu sehingga keraton dianggap sebagai pusat kerajaan.
2. Kebudayaan Pinggiran.
Kebudayaan pinggiran berarti kebudayaan tersebut berada jauh dari pusat kekuasaan. Kebudayaan pinggiran hidup di tengah-tengah rakyat jelata. Pengaruh kebudayaan pinggiran terhadap masyarakat relatif lebih sempit dan bersifat lokal. Kebudayaan pinggiran beraneka macam karena tiap-tiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan masing-masing. Contoh wujud kebudayaan dalam bentuk bahasa adalah bahasa Jawa Banyumasan (ngapak-ngapak) yang memiliki perbedaan dengan bahasa Jawa di Surakarta dan Yogyakarta. Begitu juga dengan bahasa Jawa di Surabaya dan Tegal. Ciri-ciri bahasa Jawa di kedua tempat itu memiliki perbedaan. Contoh kesenian dalam kebudayaan pinggiran, misalnya tari jaran kepang, tayub, kuda lumping, sintren, jathilan, reog, dan ludruk. Kebudayaan tersebut hidup dan berkembang di kalangan rakyat jelata dan tidak pernah dipentaskan di pusat kebudayaan (keraton).
Terdapat beberapa sifat kebudayaan yaitu sebagai berikut:
1. Abstrak
Abstrak dalam kebudayaan merupakan sistern ide atau sistem gagasan yang ada di dalam pikiran manusia.
2. Konkret
Konkret merupakan hasil dari kebudayaan. Hal tersebut dapat dilihat melalui tari-tarian, pawai budaya, pertunjukan musik, dan pertunjukan wayang. Semua itu sebagai perilaku kebudayaan. Rumah joglo, candi, keraton, dan patung juga bersifat konkret dan hasil dari kebudayaan. Hal-hal itulah yang disebut benda-benda budaya.
3. Menuntun dan mengarahkan manusia
Kebudayaan itu dapat menjadi penuntun, pengarah, pedoman, dan kadang-kadang alat pemaksa bagi sikap serta perilaku masyarakat. Dalam kehidupan, masyarakat bersikap dan berperilaku sesuai peraturan yang menjadi kesepakatan bersama. Jika ada orang atau bagian dari masyarakat yang tidak mau tunduk pada tata aturan yang bernama kebudayaan, ia dikatakan berperilaku menyimpang. Biasanya, orang yang menyimpang dari kebudayaan masyarakatnya akan mendapatkan sanksi sosial.
4. Dimiliki oleh manusia
Kebudayaan itu hanya dimiliki oleh manusia. Hal ini disebabkan kajian antropologi adalah kajian tentang manusia dan kebudayaannya.
5. Dimiliki oleh masyarakat
Kebudayaan itu tidak dimiliki secara individu (perseorangan), tetapi dimiliki secara kolektif (masyarakat). Masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki persamaan-persamaan tempat tinggal, bahasa, dan adat istiadat.
6. Diwariskan
Suatu kebudayaan dapat diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Hal itu terjadi secara berkesinambungan.
7. Berubah
Kebudayaan itu dapat berubah seiring perjalanan waktu, pengaruh lingkungan, serta pengaruh masyarakat.
Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Hal tersebut disebabkan unsur-unsur kebudayaan itu dapat ditemukan pada kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Koentjaraningrat mengutip pendapat C. Kluckhohn, dalam buku Universal Catagories of Culture, bahwa di dunia ini terdapat tujuh unsur kebudayaan yang sifatnya universal.
Ketujuh unsur kebudayaan dapat dilihat berikut ini:
1. Sistem religi, yang meliputi sistem kepercayaan, sistem nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan, atau upacara keagamaan.
2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, yang mencakup kekerabatan, asosiasi (perkumpulan), sistem kenegaraan, dan sistem kesatuan hidup.
3. Sistem pengetahuan, yang meliputi pengetahuan tentang flora dan fauna, waktu, ruang, bilangan, tubuh manusia, dan perilaku antarsesama manusia.
4. Bahasa, yang berbentuk lisan ataupun tulisan.
5. Kesenian yang meliputi seni patung/pahat, relief lukis dan gambar, seni rias, vokal, musik, bangunan, kesusastraan, atau drama.
6. Sistem mata pencaharian hidup/sistem ekonomi, yang meliputi berburu, mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan perdagangan.
7. Sistem teknologi, antara lain produksi, distribusi, transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian, perhiasan, tempat berlindung (perumahan), atau senjata.
Urutan unsur-unsur kebudayaan universal seperti itu dibuat sengaja untuk menggambarkan unsur-unsur mana yang sulit berubah dan mana yang paling mudah berubah atau dapat diganti dengan unsur kebudayaan lain. Konsep mengenai unsur kebudayaan universal sering dipergunakan para ahli antropologi untuk meneliti masyarakat atau kebudayaan dari pangkal. Hal itu membuat pada saat ke lapangan, peneliti sudah tahu unsur apa yang akan ditelitinya.
Dalam ilmu antropologi, tujuh unsur kebudayaan itulah yang akan berkembang menjadi spesialiasi ilmu antropologi, yaitu antropologi linguistik (bahasa), antropologi religi, antropologi seni, antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi gender, altropologi kesehatan, dan antropologi ekologi. Spesialisasi ilmu ini tetap menggunakan dasar ilmu antropologi sebagai alat analisis terhadap masalah sosial yang sedang dikaji. Misalnya, antropologi religi tetap memfokuskan kajiannya pada masalah religi di dalam masyarakat dengan sudut pandang dan alat analisis ilmu antropologi. Antropologi politik tetap memfokuskan kajiannya pada masalah pertarungan kekuasaan dan politik di dalam masyarakat dengan sudut pandang dan alat analisis ilmu antropologi. Begitu pula dengan antropologi linguistik (bahasa) yang tetap memfokuskan kajiannya pada masalah kebahasaan di dalam masyarakat dengan sudut pandang dan alat analisis ilmu antropologi.
Catatan 1:
Pada masyarakat Jawa, kebudayaan pusat sering disebut kebudayaan adiluhung (bernilai tinggi). Kebudayaan pusat dalam bentuk kesenian, misalnya tari bedhoyo ketawang, bedhoyo anglir mendhung, dan gambyong pare anom. Tari yang memiliki aturan tata gerak yang rumit dan anggun tersebut menjadi salah satu simbol kebudayaan pusat di dalam masyarakat Jawa. Bahasa krama inggil beserta unggah-ungguh-nya yang sangat halus, ketat, dan sopan juga sangat dijunjung tinggi di lingkungan pusat kebudayaan Jawa. Keraton-keraton Jawa menjadi pusat pemelihara kebudayaan yang adiluhung, anggun, klasik, rumit, dan kepriyayian. Dalam tata cara berpakaian tradisional Jawa, aturan-aturan baku juga berkiblat pada tata cara berpakaian di pusat kebudayaan Jawa. Pada masa lalu, jenis kain jarik dengan motif tertentu hanya boleh dipaka oleh raja. Para pejabat kerajaan, apalagi rakyat jelata, tidak boleh memakainya agar tidak menyamai raja. Motif yang ada pada kain jarik juga dapat menjadi petunjuk status dan pangkat orang yang memakainya saat mereka berada di dalam Iingkungan keraton. Contoh motif kain jarik adalah kawung, parang garuda, parang trios, dan parang rusak.
Catatan 2:
Prof.DR.KOENTJARANINGRAT
Pak Koen, panggilan akrabnya, lahir di Yogyakarta, 15 Juni 1923, meninggal di Jakarta, 23 Maret 1999. Ia adalah seorang ilmuwan yang berjasa meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu antro-pologi di Indonesia. Sehingga ia diberi kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia.
Pak Koen merintis berdirinya sebe-las jurusan antropologi di berba-gai universitas di Indonesia.
Hampir sepanjang hidupnya disumbangkan untuk pengem-bangan ilmu antropologi, pendidikan antropologi, dan apsek-aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia.